Ketentuan dan Peraturan Membuat Peta
KETENTUAN DAN PERATURAN PEMBUATAN PETA
Dalam membuat sebuah peta, tentu ada syarat dan ketentuan yang berlaku, salah satunya adalah syarat dan ketentuan menurut aspek yuridis.
Aspek yuridis sendiri merupakan aspek yang bersinggungan dengan hukum. Dalam ketentuan pembuatan peta ini, terdapat 3 peraturan ketentuan pembuatan peta yaitu :
1. Undang-undang No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
2. Peraturan pemerintah No. 8 Tahun 2013 tentang Tingkat Ketelitian PAda Peta untuk Penataan Ruang dan Wilayah
3. Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang-undang No. 4 tahun 2011
tentang :
Informasi Geospasial
tentang :
Informasi Geospasial
Sebagaimana yang diketahui, dalam dictum menimbang UU nomor 4 Tahun 2011, terdapat dua pikiran pokok yang mendasari hadirnya Undang-undang Informasi Geospasial ini yaitu :
1. Dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya lainnya serta penanggulangan bencana dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah yurisdiksinya diperlukan informasi geospasial
2. Agar informasi geospasial dapat terselenggara dengan tertib, terpadu, berhasil guna, dan berdaya guna sehingga terjamin keakuratan, kemutakhiran, dan kepastian hukum, maka perlu pengaturan mengenai penyelenggaraan informasi geospasial.
Dengan adanya dua pokok pemikiran tersebut maka UU No.4 tahun 2011 disahkan. Menurut Pandi Nugroho, kehadiran undang-undang yang mengatur tentang Informasi Geospasial ini didedikasikan untuk beberapa tujuan utama yaitu :
a. Untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, dimasa kini dan masa yang akan datang, sebagaimana diamanatkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
b. Hadirnya UU-IG merupakan satu jaminan yang melengkapi hak dalam memperoleh informasi untuk meningkatkan kualitas pribadi dan kualitas lingkungan sosial sebagaimana dituangkan pada Pasal 28F, UUD 1945 bagi segenap Warga Negara Indonesia (WNI).
Sementara rumusan Pasal 3 UU Nomor 4 Tahun 2011 menyebutkan bahwa kehadiran Undang-Undang ini secara langsung bertujuan untuk:
1. Menjamin ketersediaan dan akses terhadap IG yang dapat dipertanggungjawabkan
2. Mewujudkan penyelenggaraan IG yang berdaya guna dan berhasil guna melalui kerja sama, koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi
3. Mendorong penggunaan IG dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Terdapat dua prinsip utama dalam tubuh undang-undang informasi Geospasial tersebut antara lain pertama, bahwa informasi geospasial dasar (IGD) dan secara umum informasi geospasial tematik (IGT) yang diselenggarakan instansi pemerintah dan pemerintah daerah bersifat terbuka. Hal ini bermakna bahwa :
a) Bagi segenap WNI diberikan kemerdekaan untuk dapat mengakses dan memperoleh IGD dan sebagian besar IGT untuk dipergunakan dan dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan. Masyarakat pun dapat berkontribusi aktif dalam pelaksanaan penyelenggaraan IG, untuk dapat menumbuhkan dan mengembangkan industri IG dengan baik.
b) Bagi Pemerintah ; segenap penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan geospasial (ruang-kebumian) wajib menggunakan IG yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Penggunaan IG yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan tersebut diharuskan karena mengingat bahwa IG yang digunakan oleh segenap penyelenggaraan pemerintah tersebut terbuka untuk umum (WNI) yang sewaktu-waktu dapat diakses dan digunakan pula oleh masyarakat.
Kedua, bahwa IGT wajib mengacu kepada IGD. Prinsip atau aturan ini diberlakukan untuk menjamin adanya kesatupaduan (single referency) seluruh IG yang ada sehingga tidak ada lagi kejadian tumpang tindih IG dan perbedaan referensi geometri pada IG (peta). kejadian tumpang tindih IG mengakibatkan borosnya anggaran pembangunan. Sementara itu perbedaan referensi geometris sering berakibat pada ketidakpastian hukum.
1. Eksistensi UU Nomor 4 Tahun 2011 dalam Bidang Pertanahan.
2. Bagaimana pengaruh UU Nomor 4 Tahun 2011 terhadap kegiatan pemetaan baik
Dengan ditetapkannya Undang-Undang tentang Informasi Geospasial tentu saja berpengaruh terhadap semua kegiatan pemetaan yang dilakukan baik secara manual maupun digital. Kehadiran UU tersebut secara langsung bertujuan mengadakan unifikasi kegiatan pemetaan secara nasional dengan menggunakan dasar yang sama. Hal ini diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 23 UU No. 4 tahun 2011. Di dalam Pasal 22 mengatur bahwa Badan Informasi Geospasial (sebagai pengganti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) bertanggung jawab dalam penyelenggaraan IGD (Informasi Geospasial Dasar). Sedangkan penyelenggaraan IGT (Informasi Geospasial Tematik) dilakukan oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah dan atau setiap orang berdasarkan tugas, fungsi, dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 23). Pembuatan IGT sebagaimana yang dijelaskan pasal 19 dan 20 wajib mengacu pada IGD.
Pembuatan IGD secara manual dan digital diatur dalam pasal 27 dan 31 UU tersebut. Asal 27 mengatur bahwa pelaksanaan pengumpulan data geospasial dapat dilakukan secara langsung melalui survey, pencacahan maupun dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara pengolahan data geospasial tersebut dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak yang berlisensi dan/atau bersifat bebas dan terbuka.
Terkait dengan pengolahan IGD, pasal 34 mengatur bahwa pemrosesan data geospasial harus dilakukan sesuai dengan standar yang meliputi :
1. Sistem proyeksi dan sistem koordinat yang dengan jelas dan pasti dapat ditransformasikan ke dalam sistem koordinat standar nasional, dan
2. Format, basisdata, dan metadata yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan IG lain.
Dengan demikian melalui pengaturan ini maka perwujudan unifikasi kegiatan pemetaan dapat dilakukan sebab setiap peta yang akan dihasilkan memiliki dasar, sistem koordinat dan sistem proyeksi yang sama.
Badan Pertanahan Nasional RI sebagai salah satu instansi yang berkecimpung dalam kegiatan pengukuran dan pemetaan di bidang kadastral pastinya merasakan dampak kehadiran undang-undang ini dalam kegiatan pengukuran dan pemetaannya. Dalam bidang pemetaan BPN RI telah mengeluarkan buku Norma, Standar, Pedoman dan Mekanisme (NSPM) Survei dan Pemetaan Tematik Pertanahan Edisi II Tahun 2009 yang diterbitkan oleh Direktorat Pemetaan Tematik untuk menjadi acuan pelaksanaan survei dan pemetaan tematik bagi jajaran Survei, Pengukuran dan Pemetaan Pertanahan baik di pusat, kantor wilayah dan kantor pertanahan kabupaten/kota. Dengan dikeluarkannya Undang-undang tersebut maka sudah seharusnya diperlukan penyesuaian segala bentuk aturan, petunjuk dan pedoman yang berhubungan dengan kegiatan pengukuran dan pemetaan instansi BPN RI dilakukan terhadap standar yang ditetapkan oleh Badan Informasi Geospasial.
Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2013
tentang :
Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang dan Wilayah
Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang dan Wilayah
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang berada di atas maupun di bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu bidang datar dengan Skala tertentu.
2. Ketelitian Peta adalah ketepatan, kerincian dan kelengkapan data, dan/atau informasi georeferensi dan tematik, sehingga merupakan penggabungan dari sistem referensi geometris, Skala, akurasi, atau kerincian basis data, format penyimpanan secara digital termasuk kode unsur, penyajian kartografis mencakup simbol, warna, arsiran dan notasi, serta kelengkapan muatan Peta.
3. Skala adalah perbandingan jarak dalam suatu Peta dengan jarak yang sama di muka bumi.
4. Skala Minimal adalah Skala Peta Dasar terkecil yang boleh digunakan dalam proses Perencanaan Tata Ruang.
5. Geospasial atau ruang kebumian adalah aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu.
6. Data Geospasial adalah data tentang lokasi geografis, dimensi atau ukuran, dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi.
7. Informasi Geospasial adalah Data Geospasial yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian.
8. Unit Pemetaan adalah merupakan pembagian ruang terkecil atau hierarki terkecil dalam suatu Peta Tematik yang digunakan untuk menampilkan informasi tematik dalam penyusunan tata ruang. 9. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
10. Rencana Tata Ruang adalah hasil Perencanaan Tata Ruang.
11. Peta Dasar adalah Peta yang menyajikan unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang berada di permukaan bumi, digambarkan pada suatu bidang datar dengan Skala, penomoran, proyeksi, dan georeferensi tertentu.
12. Peta Tematik adalah Peta yang menggambarkan tema tertentu yang digunakan untuk pembuatan Peta rencana tata ruang.
13. Data Batimetri adalah data garis khayal yang menghubungkan titik-titik yang memiliki kedalaman yang sama.
14. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pada aspek administratif dan/atau fungsional.
15. Peta Wilayah adalah Peta yang menggambarkan ruang dalam kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pada aspek administratif dan/atau fungsional.
16. Badan adalah lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Informasi Geospasial.
17. Delineasi adalah garis yang menggambarkan batas suatu unsur yang berbentuk area.
18. Koridor adalah area sepanjang perbatasan yang dibatasi oleh 2 (dua) garis sejajar dengan garis perbatasan dengan jarak tertentu dimana garis perbatasannya menjadi garis tengahnya.
BAB II PERENCANAAN TATA RUANG
Bagian Kesatu Umum
Pasal 2
(1) Perencanaan Tata Ruang dilakukan untuk menghasilkan : a. rencana umum tata ruang; dan b. rencana rinci tata ruang. (2) Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara hierarki terdiri atas: a. rencana tata ruang wilayah nasional; b. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan c. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota.
(3) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. rencana tata ruang pulau/kepulauan; b. rencana tata ruang kawasan strategis nasional; c. rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; d. rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten; e. rencana tata ruang kawasan strategis kota; dan f. rencana detail tata ruang kabupaten/kota.(4) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d dapat berupa rencana tata ruang kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, dan/atau kawasan lainnya yang ditetapkan sebagai kawasan strategis.
Pasal 3
Rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang termasuk rencana tata ruang kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dituangkan dalam Peta Rencana Tata Ruang.
Bagian Kedua Peta Rencana Tata Ruang
Paragraf 1 Umum
Pasal 4
(1) Peta Rencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi: a. Peta Rencana Struktur Ruang; dan b. Peta Rencana Pola Ruang. (2) Selain Peta Rencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditetapkan Peta penetapan kawasan strategis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
(1) Peta Rencana Struktur Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah nasional; b. Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah provinsi; c. Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah kabupaten; dan d. Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah kota. (2) Peta Rencana Pola Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b terdiri atas: a. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah nasional; b. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah provinsi; c. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah kabupaten; dan d. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah kota.
Pasal 6
(1) Peta Rencana Tata Ruang diselenggarakan dengan menggunakan Peta Dasar dan Peta Tematik tertentu melalui metode proses spasial yang ditentukan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Ketelitian Peta Dasar dan Peta Tematik serta metode proses spasial yang digunakan di dalam penyelenggaraan Peta Rencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Badan.
Pasal 7
(1) Penyusunan Peta Rencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib dikonsultasikan kepada Badan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Badan.
Paragraf 2 Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah
Pasal 8
(1) Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi unsur: a. sistem perkotaan; b. sistem jaringan transportasi; c. sistem jaringan energi; d. sistem jaringan telekomunikasi; dan e. sistem jaringan sumber daya air. (2) Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d meliputi unsur: a. sistem perkotaan; b. sistem jaringan transportasi; c. sistem jaringan energi; d. sistem jaringan telekomunikasi; e. sistem jaringan sumber daya air; dan f. sistem jaringan prasarana wilayah lainnya. (3) Sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) digambarkan pada 1 (satu) cakupan Peta Wilayah secara utuh. (4) Dalam hal diperlukan sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat digambarkan pada Peta tersendiri. (5) Untuk kepentingan penetapan peraturan perundang-undangan, Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah dapat digambarkan dalam beberapa lembar Peta yang tersusun secara sistematis mengikuti penggambaran wilayah secara utuh.
Paragraf 3 Peta Rencana Pola Ruang Wilayah
Pasal 9
(1) Peta Rencana Pola Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) meliputi: a. kawasan lindung; dan b. kawasan budi daya. (2) Peta Rencana Pola Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus digambarkan dalam bentuk delineasi. (3) Delineasi kawasan lindung dan kawasan budi daya harus dipetakan pada lembar kertas yang menggambarkan wilayah secara utuh. (4) Dalam hal kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digambarkan dalam bentuk delineasi, penggambarannya disajikan dalam bentuk simbol. (5) Untuk kepentingan penetapan peraturan perundang-undangan, Peta Rencana Pola Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digambarkan dalam beberapa lembar Peta yang tersusun secara sistematis mengikuti penggambaran wilayah secara utuh.
BAB III KETELITIAN PETA
Bagian Kesatu Umum
Pasal 10
(1) Peta rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang termasuk rencana tata ruang kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 disusun dalam tingkat ketelitian tertentu. (2) Tingkat ketelitian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. ketelitian geometris; dan b. ketelitian muatan ruang. (3) Ketelitian geometris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi: a. sistem referensi Geospasial; b. Skala; dan c. Unit Pemetaan.
Pasal 11
(1) Dalam pembuatan Peta harus menggunakan sistem referensi Geospasial yang ditetapkan oleh
Kepala Badan. (2) Dalam menetapkan sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Badan berpedoman pada sistem referensi Geospasial yang bersifat global.
Pasal 12
(1) Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b meliputi: a. kerincian kelas unsur; dan b. simbolisasi. (2) Kerincian kelas unsur dan simbolisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. (3) Dalam hal diperlukan perubahan penggambaran kerincian kelas unsur dan simbolisasi pada Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penentuan kerincian kelas unsur dan simbolisasi dilakukan oleh Kepala Badan dengan berkoordinasi bersama kementerian/lembaga pemerintah non kementerian terkait. (4) Perubahan penggambaran kerincian kelas unsur dan simbolisasi pada Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diusulkan oleh kementerian/lembaga pemerintah non kementerian atau Badan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan terhadap penggambaran kerincian kelas unsur dan simbolisasi diatur dengan peraturan Kepala Badan.
Bagian Kedua Ketelitian Peta Rencana Umum Tata Ruang
Paragraf 1 Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Pasal 13
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah nasional digambarkan dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Peta Dasar Skala Minimal 1:1.000.000; c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; dan d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
Paragraf 2 Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Pasal 14
(1) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi digambarkan dengan menggunakan: a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Peta Dasar Skala Minimal 1:250.000; c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi; dan d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (2) Dalam hal wilayah provinsi memiliki pesisir dan laut, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi dapat dilengkapi dengan Data Batimetri. (3) Dalam hal wilayah provinsi berbatasan dengan wilayah provinsi lain, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi disusun setelah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi yang berbatasan langsung. (4) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digambarkan dengan penggambaran wilayah provinsi ditambah dengan wilayah provinsi yang berbatasan langsung dalam Koridor 5 (lima) kilometer sepanjang garis perbatasan.
Paragraf 3 Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Pasal 15
(1) Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten digambarkan dengan menggunakan: a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Peta Dasar Skala Minimal 1:50.000; c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten; dan d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (2) Dalam hal wilayah kabupaten memiliki pesisir dan laut, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten dapat dilengkapi dengan Data Batimetri. (3) Dalam hal wilayah kabupaten berbatasan dengan kabupaten/kota lain, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten disusun setelah berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota yang berbatasan langsung. (4) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digambarkan dengan penggambaran wilayah kabupaten ditambah dengan wilayah kabupaten/kota yang berbatasan langsung dalam Koridor 2,5 (dua koma lima) kilometer sepanjang garis perbatasan.
Pasal 16
Rencana pola ruang wilayah kabupaten dapat digambarkan dalam beberapa lembar Peta yang tersusun secara sistematis mengikuti indeks Peta Dasar nasional.
Paragraf 4 Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Pasal 17
(1) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah kota digambarkan dengan menggunakan: a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Peta Dasar Skala Minimal 1:25.000; c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah kota; dan d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (2) Dalam hal wilayah kota memiliki pesisir dan laut, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah kota dapat dilengkapi dengan Data Batimetri. (3) Dalam hal wilayah kota berbatasan dengan kabupaten/kota lain, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah kota disusun setelah berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota yang berbatasan langsung. (4) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digambarkan dengan penggambaran wilayah kota ditambah dengan wilayah kabupaten/kota yang berbatasan langsung dalam Koridor 2,5 (dua koma lima) kilometer sepanjang garis perbatasan.
Pasal 18
Sistem jaringan prasarana jalan pada Peta struktur ruang wilayah kota harus digambarkan mengikuti terase jalan yang sebenarnya.
Pasal 19
Rencana pola ruang wilayah kota dapat digambarkan dalam beberapa lembar Peta yang tersusun secara sistematis mengikuti indeks Peta Dasar nasional.
Bagian Ketiga Ketelitian Peta Rencana Rinci Tata Ruang
Paragraf 1 Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau/Kepulauan
Pasal 20
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah pulau/kepulauan digambarkan dengan menggunakan: a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Peta Dasar Skala Minimal 1:500.000; c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah pulau/kepulauan; dan d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
Paragraf 2 Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional
Pasal 21
(1) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis nasional merupakan penjabaran dari Peta Sebaran Kawasan Strategis nasional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah nasional. (2) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis nasional digambarkan dengan menggunakan: a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Peta Dasar pada Skala yang sesuai dengan bentang objek dan/atau sesuai kebutuhan; c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis nasional; dan d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (3) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib dikonsultasikan kepada Kepala Badan.
Paragraf 3 Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi.
Pasal 22
(1) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis provinsi merupakan penjabaran dari Peta Sebaran Kawasan Strategis provinsi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi. (2) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis provinsi digambarkan dengan menggunakan: a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Peta Dasar pada Skala yang sesuai dengan bentang objek dan/atau sesuai kebutuhan; c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis provinsi; dan d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (3) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib dikonsultasikan kepada Kepala Badan.
Paragraf 4 Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten
Pasal 23
(1) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten merupakan penjabaran dari Peta Sebaran Kawasan Strategis kabupaten dalam Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten. (2) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten digambarkan dengan menggunakan: a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Peta Dasar pada Skala yang sesuai dengan bentang objek dan/atau sesuai kebutuhan; c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten; dan d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (3) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib dikonsultasikan kepada Kepala Badan.
Paragraf 5 Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kota
Pasal 24
(1) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kota merupakan penjabaran dari Peta Sebaran Kawasan Strategis kota dalam Rencana Tata Ruang Wilayah kota. (2) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kota digambarkan dengan menggunakan: a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Peta Dasar pada Skala yang sesuai dengan bentang objek dan/atau sesuai kebutuhan; c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kota; dan d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (3) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib dikonsultasikan kepada Kepala Badan.
Pasal 25
Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kota memuat unsur dengan tingkat kedetilan geometris sesuai dengan Skala yang ditetapkan.
Paragraf 6 Ketelitian Peta Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota
Pasal 26
(1) Peta Rencana Detail Tata Ruang kabupaten/kota digambarkan dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Peta Dasar dengan Skala yang sesuai dengan bentang objek atau kawasan dan/atau tingkat kepentingan objek atau kawasan yang digambarkan; c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Detail Tata Ruang kabupaten/kota; dan d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (2) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dikonsultasikan kepada Kepala Badan.
Bagian Keempat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dan Kawasan Perdesaan
Paragraf 1 Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan
Pasal 27
(1) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten digambarkan dengan menggunakan: a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Peta Dasar Skala Minimal 1:10.000; c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Kawasan perkotaan; dan d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (2) Dalam hal Peta Rencana Tata Ruang Kawasan perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah provinsi digambarkan dengan menggunakan: a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Peta Dasar Skala Minimal 1:50.000; c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Kawasan perkotaan; dan d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
Pasal 28
Sistem Pusat Kegiatan pada Peta Rencana Tata Ruang Kawasan perkotaan harus menunjukkan dengan jelas kota inti dan kota sekitarnya.
Paragraf 2 Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Perdesaan
Pasal 29
(1) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten digambarkan dengan menggunakan: a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Peta Dasar Skala Minimal 1:10.000; c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Tata Ruang Kawasan perdesaan; dan d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. (2) Dalam hal Peta Rencana Tata Ruang Kawasan perdesaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten pada satu atau lebih wilayah provinsi digambarkan dengan menggunakan: a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Peta Dasar Skala Minimal 1:50.000; c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata Ruang Kawasan perdesaan; dan d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
BAB IV PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL PETA RENCANA TATA RUANG
Pasal 30
(1) Pengelolaan data Peta rencana tata ruang disusun dalam sistem pengelolaan basis Data Geospasial. (2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sejak pengumpulan data sampai dengan tersusunnya Peta rencana tata ruang. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan data Peta rencana tata ruang diatur dengan Peraturan Kepala Badan.
Pasal 31 Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang, gubernur, dan bupati/walikota wajib menyerahkan duplikat Peta rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 kepada Kepala Badan.
BAB V PEMBINAAN TEKNIS
Pasal 32
(1) Badan melakukan pembinaan teknis perpetaan dalam penyusunan rencana tata ruang yang dilakukan oleh instansi Pemerintah dan pemerintah daerah. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk: a. penerbitan pedoman, standar, dan spesifikasi teknis serta sosialisasinya; b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi;c. pemberian pendidikan dan pelatihan; d. perencanaan, penelitian, dan pengembangan; dan e. pemantauan dan evaluasi.
Pasal 33
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta Untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 34
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Undang-undang No. 26 tahun 2007
tentang :
tentang :
Penataan Ruang
BAB I
KETENTUAN UMUM | |||||
Pasal 1
| |||||
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
| |||||
1.
|
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
| ||||
2.
|
Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
| ||||
3.
|
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
| ||||
4.
|
Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
| ||||
5.
|
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
| ||||
6.
|
Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
| ||||
7.
|
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
| ||||
8.
|
Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
| ||||
9.
|
Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang.
| ||||
10.
|
Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
| ||||
11.
|
Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
| ||||
12.
|
Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
| ||||
13.
|
Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
| ||||
14.
|
Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
| ||||
15.
|
Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.
| ||||
16.
|
Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
| ||||
17.
|
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
| ||||
18.
|
Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.
| ||||
19.
|
Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan.
| ||||
20.
|
Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.
| ||||
21.
|
Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumber daya buatan.
| ||||
22.
|
Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
| ||||
23.
|
Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
| ||||
24.
|
Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
| ||||
25.
|
Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
| ||||
26.
|
Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.
| ||||
27.
|
Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.
| ||||
28.
|
Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
| ||||
29.
|
Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
| ||||
30.
|
Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
| ||||
31.
|
Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
| ||||
32.
|
Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
| ||||
33.
|
Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
| ||||
34.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang penataan ruang.
| ||||
BAB II
ASAS DAN TUJUAN | |||||
Pasal 2
| |||||
Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas :
| |||||
a.
|
keterpaduan;
| ||||
b.
|
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
| ||||
c.
|
keberlanjutan;
| ||||
d.
|
keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
| ||||
e.
|
keterbukaan;
| ||||
f.
|
kebersamaan dan kemitraan;
| ||||
g.
|
perlindungan kepentingan umum;
| ||||
h.
|
kepastian hukum dan keadilan; dan
| ||||
i.
|
akuntabilitas.
| ||||
Pasal 3
| |||||
Penyelengaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan :
| |||||
a.
|
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
| ||||
b.
|
terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
| ||||
c.
|
terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
| ||||
BAB III
KLASIFIKASI PENATAAN RUANG | |||||
Pasal 4
| |||||
Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan.
| |||||
Pasal 5
| |||||
(1)
|
Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem internal perkotaan.
| ||||
(2)
|
Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya.
| ||||
(3)
|
Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
| ||||
(4)
|
Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan.
| ||||
(5)
|
Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
| ||||
Pasal 6
| |||||
(1)
|
Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan :
| ||||
a.
|
kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana;
| ||||
b.
|
potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan
| ||||
c.
|
geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.
| ||||
(2)
|
Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer.
| ||||
(3)
|
Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
| ||||
(4)
|
Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
| ||||
(5)
|
Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.
| ||||
BAB IV
TUGAS DAN WEWENANG | |||||
Bagian Kesatu
Tugas | |||||
Pasal 7
| |||||
(1)
|
Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
| ||||
(2)
|
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah.
| ||||
(3)
|
Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
| ||||
Bagian Kedua
Wewenang Pemerintah | |||||
Pasal 8
| |||||
(1)
|
Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi :
| ||||
a.
|
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;
| ||||
b.
|
pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;
| ||||
c.
|
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
| ||||
d.
|
kerja sama penataan ruang antarnegara dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antarprovinsi.
| ||||
(2)
|
Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang nasional meliputi :
| ||||
a.
|
perencanaan tata ruang wilayah nasional;
| ||||
b.
|
pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan
| ||||
c.
|
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.
| ||||
(3)
|
Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional meliputi :
| ||||
a.
|
penetapan kawasan strategis nasional;
| ||||
b.
|
perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional;
| ||||
c.
|
pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan
| ||||
d.
|
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.
| ||||
(4)
|
Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah melalui dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan.
| ||||
(5)
|
Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang, Pemerintah berwenang menyusun dan menetapkan pedoman bidang penataan ruang.
| ||||
(6)
|
Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pemerintah :
| ||||
a.
|
menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan :
| ||||
1)
|
rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;
| ||||
2)
|
arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan
| ||||
3)
|
pedoman bidang penataan ruang;
| ||||
b.
|
menetapkan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
| ||||
Pasal 9
| |||||
(1)
|
Penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh seorang Menteri.
| ||||
(2)
|
Tugas dan tanggung jawab Menteri dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup :
| ||||
a.
|
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan penataan ruang;
| ||||
b.
|
pelaksanaan penataan ruang nasional; dan
| ||||
c.
|
koordinasi penyelenggaraan penataan ruang lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.
| ||||
Bagian Ketiga
Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi | |||||
Pasal 10
| |||||
(1)
|
Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi :
| ||||
a.
|
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota;
| ||||
b.
|
pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
| ||||
c.
|
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
| ||||
d.
|
kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
| ||||
(2)
|
Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :
| ||||
a.
|
perencanaan tata ruang wilayah provinsi;
| ||||
b.
|
pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
| ||||
c.
|
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.
| ||||
(3)
|
Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah provinsi melaksanakan :
| ||||
a.
|
penetapan kawasan strategis provinsi;
| ||||
b.
|
perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi;
| ||||
c.
|
pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan
| ||||
d.
|
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
| ||||
(4)
|
Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah kabupaten/kota melalui tugas pembantuan.
| ||||
(5)
|
Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi, pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
| ||||
(6)
|
Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pemerintah daerah provinsi :
| ||||
a.
|
menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan :
| ||||
1)
|
rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
| ||||
2)
|
arahan peraturan zonasi untuk sistem provinsi yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
| ||||
3)
|
petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;
| ||||
b.
|
melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
| ||||
(7)
|
Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
| ||||
Bagian Keempat
Wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota | |||||
Pasal 11
| |||||
(1)
|
Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi :
| ||||
a.
|
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota;
| ||||
b.
|
pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
| ||||
c.
|
pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
| ||||
d.
|
kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
| ||||
(2)
|
Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :
| ||||
a.
|
perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;
| ||||
b.
|
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
| ||||
c.
|
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
| ||||
(3)
|
Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan :
| ||||
a.
|
penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;
| ||||
b.
|
perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
| ||||
c.
|
pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
| ||||
d.
|
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
| ||||
(4)
|
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah daerah kabupaten/kota mengacu pada pedoman bidang penataan ruang dan petunjuk pelaksanaannya.
| ||||
(5)
|
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pemerintah daerah kabupaten/kota :
| ||||
a.
|
menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
| ||||
b.
|
melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
| ||||
(6)
|
Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, pemerintah daerah provinsi dapat mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
| ||||
BAB V
PENGATURAN DAN PEMBINAAN PENATAAN RUANG | |||||
Pasal 12
| |||||
Pengaturan penataan ruang dilakukan melalui penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang termasuk pedoman bidang penataan ruang.
| |||||
Pasal 13
| |||||
(1)
|
Pemerintah melakukan pembinaan penataan ruang kepada pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan masyarakat.
| ||||
(2)
|
Pembinaan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui :
| ||||
a.
|
koordinasi penyelenggaraan penataan ruang;
| ||||
b.
|
sosialisasi peraturan perundang-undangan dan sosialisasi pedoman bidang penataan ruang;
| ||||
c.
|
pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang;
| ||||
d.
|
pendidikan dan pelatihan;
| ||||
e.
|
penelitian dan pengembangan;
| ||||
f.
|
pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang;
| ||||
g.
|
penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat; dan
| ||||
h.
|
pengembangan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat.
| ||||
(3)
|
Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota menyelenggarakan pembinaan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menurut kewenangannya masing-masing.
| ||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
| ||||
BAB VI
PELAKSANAAN PENATAAN RUANG | |||||
Bagian Kesatu
Perencanaan Tata Ruang | |||||
Paragraf 1 UMUM
| |||||
Pasal 14
| |||||
(1)
|
Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan :
| ||||
a.
|
rencana umum tata ruang; dan
| ||||
b.
|
rencana rinci tata ruang.
| ||||
(2)
|
Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara berhierarki terdiri atas :
| ||||
a.
|
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
| ||||
b.
|
rencana tata ruang wilayah provinsi; dan
| ||||
c.
|
rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota.
| ||||
(3)
|
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas :
| ||||
a.
|
rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
| ||||
b.
|
rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
| ||||
c.
|
rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
| ||||
(4)
|
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang.
| ||||
(5)
|
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b disusun apabila :
| ||||
a.
|
rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; dan/atau
| ||||
b.
|
rencana umum tata ruang mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana umum tata ruang tersebut memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan.
| ||||
(6)
|
Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dijadikan dasar bagi penyusunan peraturan zonasi.
| ||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta rencana tata ruang diatur dengan peraturan pemerintah.
| ||||
Pasal 15
| |||||
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi.
| |||||
Pasal 16
| |||||
(1)
|
Rencana tata ruang dapat ditinjau kembali.
| ||||
(2)
|
Peninjauan kembali rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menghasilkan rekomendasi berupa :
| ||||
a.
|
rencana tata ruang yang ada dapat tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; atau
| ||||
b.
|
rencana tata ruang yang ada perlu direvisi.
| ||||
(3)
|
Apabila peninjauan kembali rencana tata ruang menghasilkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, revisi rencana tata ruang dilaksanakan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
| ||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara peninjauan kembali rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
| ||||
Pasal 17
| |||||
(1)
|
Muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang.
| ||||
(2)
|
Rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana.
| ||||
(3)
|
Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya.
| ||||
(4)
|
Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan.
| ||||
(5)
|
Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.
| ||||
(6)
|
Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan.
| ||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah diatur dengan peraturan pemerintah.
| ||||
Pasal 18
| |||||
(1)
|
Penetapan rancangan peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri.
| ||||
(2)
|
Penetapan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana rinci tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Menteri setelah mendapatkan rekomendasi Gubernur.
| ||||
(3)
|
Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.
| ||||
Paragraf 2
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Nasional | |||||
Pasal 19
| |||||
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional harus memperhatikan :
| |||||
a.
|
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
| ||||
b.
|
perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional;
| ||||
c.
|
upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi;
| ||||
d.
|
keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;
| ||||
e.
|
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
| ||||
f.
|
rencana pembangunan jangka panjang nasional;
| ||||
g.
|
rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan
| ||||
h.
|
rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
| ||||
Pasal 20
| |||||
(1)
|
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat :
| ||||
a.
|
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah nasional;
| ||||
b.
|
rencana struktur ruang wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana utama;
| ||||
c.
|
rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional;
| ||||
d.
|
penetapan kawasan strategis nasional;
| ||||
e.
|
arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
| ||||
f.
|
arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
| ||||
(2)
|
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman untuk :
| ||||
a.
|
penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;
| ||||
b.
|
penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;
| ||||
c.
|
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
| ||||
d.
|
mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, dan serta keserasian antarsektor;
| ||||
e.
|
penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
| ||||
f.
|
penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
| ||||
g.
|
penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
| ||||
(3)
|
Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun.
| ||||
(4)
|
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
| ||||
(5)
|
Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
| ||||
(6)
|
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diatur dengan peraturan pemerintah.
| ||||
Pasal 21
| |||||
(1)
|
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a diatur dengan peraturan presiden.
| ||||
(2)
|
Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
| ||||
Paragraf 3
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Provinsi | |||||
Pasal 22
| |||||
(1)
|
Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi mengacu pada :
| ||||
a.
|
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
| ||||
b.
|
pedoman bidang penataan ruang; dan
| ||||
c.
|
rencana pembangunan jangka panjang daerah.
| ||||
(2)
|
Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi harus memperhatikan :
| ||||
a.
|
perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang provinsi;
| ||||
b.
|
upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi provinsi;
| ||||
c.
|
keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan kabupaten/kota;
| ||||
d.
|
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
| ||||
e.
|
rencana pembangunan jangka panjang daerah;
| ||||
f.
|
rencana tata ruang wilayah provinsi yang berbatasan;
| ||||
g.
|
rencana tata ruang kawasan strategis provinsi; dan
| ||||
h.
|
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
| ||||
Pasal 23
| |||||
(1)
|
Rencana tata ruang wilayah provinsi memuat :
| ||||
a.
|
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi;
| ||||
b.
|
rencana struktur ruang wilayah provinsi yang meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana wilayah provinsi;
| ||||
c.
|
rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi;
| ||||
d.
|
penetapan kawasan strategis provinsi;
| ||||
e.
|
arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
| ||||
f.
|
arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
| ||||
(2)
|
Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi pedoman untuk :
| ||||
a.
|
penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
| ||||
b.
|
penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
| ||||
c.
|
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam wilayah provinsi;
| ||||
d.
|
mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor;
| ||||
e.
|
penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
| ||||
f.
|
penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
| ||||
g.
|
penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
| ||||
(3)
|
Jangka waktu rencana tata ruang wilayah provinsi adalah 20 (dua puluh) tahun.
| ||||
(4)
|
Rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
| ||||
(5)
|
Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara dan/atau wilayah provinsi yang ditetapkan dengan Undang-Undang, rencana tata ruang wilayah provinsi ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
| ||||
(6)
|
Rencana tata ruang wilayah provinsi ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi.
| ||||
Pasal 24
| |||||
(1)
|
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi.
| ||||
(2)
|
Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
| ||||
Paragraf 4
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten | |||||
Pasal 25
| |||||
(1)
|
Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada :
| ||||
a.
|
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi;
| ||||
b.
|
pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan
| ||||
c.
|
rencana pembangunan jangka panjang daerah.
| ||||
(2)
|
Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten harus memperhatikan :
| ||||
a.
|
perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten;
| ||||
b.
|
upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kabupaten;
| ||||
c.
|
keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten;
| ||||
d.
|
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
| ||||
e.
|
rencana pembangunan jangka panjang daerah;
| ||||
f.
|
rencana tata ruang wilayah kabupaten yang berbatasan; dan
| ||||
g.
|
rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten
| ||||
Pasal 26
| |||||
(1)
|
Rencana tata ruang wilayah kabupaten memuat :
| ||||
a.
|
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten;
| ||||
b.
|
rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten;
| ||||
c.
|
rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten dan kawasan budi daya kabupaten;
| ||||
d.
|
penetapan kawasan strategis kabupaten.
| ||||
e.
|
arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
| ||||
f.
|
ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
| ||||
(2)
|
Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman untuk :
| ||||
a.
|
penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
| ||||
b.
|
penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
| ||||
c.
|
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten;
| ||||
d.
|
mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor;
| ||||
e.
|
penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
| ||||
f.
|
penataan ruang kawasan strategis kabupaten.
| ||||
(3)
|
Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahan.
| ||||
(4)
|
Jangka waktu rencana tata ruang wilayah kabupaten adalah 20 (dua puluh) tahun.
| ||||
(5)
|
Rencana tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
| ||||
(6)
|
Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara, wilayah provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan dengan Undang-Undang, rencana tata ruang wilayah kabupaten ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
| ||||
(7)
|
Rencana tata ruang wilayah kabupaten ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten.
| ||||
Pasal 27
| |||||
(1)
|
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten.
| ||||
(2)
|
Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
| ||||
Paragraf 5
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota | |||||
Pasal 28
| |||||
Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ketentuan selain rincian pada Pasal 26 ayat (1) ditambahkan :
| |||||
a.
|
rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;
| ||||
b.
|
rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
| ||||
c.
|
rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
| ||||
Pasal 29
| |||||
(1)
|
Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.
| ||||
(2)
|
Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota.
| ||||
(3)
|
Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.
| ||||
Pasal 30
| |||||
Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3) disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang.
| |||||
Pasal 31
| |||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka nonhijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a dan huruf b diatur dengan peraturan Menteri.
| |||||
Bagian Kedua
Pemanfaatan Ruang | |||||
Paragraf 1
Umum | |||||
Pasal 32
| |||||
(1)
|
Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya.
| ||||
(2)
|
Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan pemanfaatan ruang, baik pemanfaatan ruang secara vertikal maupun pemanfaatan ruang di dalam bumi.
| ||||
(3)
|
Program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk jabaran dari indikasi program utama yang termuat di dalam rencana tata ruang wilayah.
| ||||
(4)
|
Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu indikasi program utama pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.
| ||||
(5)
|
Pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disinkronisasikan dengan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah administratif sekitarnya.
| ||||
(6)
|
Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan standar pelayanan minimal dalam penyediaan sarana dan prasarana.
| ||||
Pasal 33
| |||||
(1)
|
Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain.
| ||||
(2)
|
Dalam rangka pengembangan penatagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara, dan neraca penatagunaan sumber daya alam lain.
| ||||
(3)
|
Penatagunaan tanah pada ruang yang direncanakan untuk pembangunan prasarana dan sarana bagi kepentingan umum memberikan hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah.
| ||||
(4)
|
Dalam pemanfaatan ruang pada ruang yang berfungsi lindung, diberikan prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerima pengalihan hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah jika yang bersangkutan akan melepaskan haknya.
| ||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
| ||||
Paragraf 2
Pemanfaatan Ruang Wilayah | |||||
Pasal 34
| |||||
(1)
|
Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dilakukan :
| ||||
a.
|
perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis;
| ||||
b.
|
perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur ruang dan pola ruang wilayah dan kawasan strategis; dan
| ||||
c.
|
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis.
| ||||
(2)
|
Dalam rangka pelaksanaan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan kawasan budi daya yang dikendalikan dan kawasan budi daya yang didorong pengembangannya.
| ||||
(3)
|
Pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengembangan kawasan secara terpadu.
| ||||
(4)
|
Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan :
| ||||
a.
|
standar pelayanan minimal bidang penataan ruang;
| ||||
b.
|
standar kualitas lingkungan; dan
| ||||
c.
|
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
| ||||
Bagian Ketiga
Pengendalian Pemanfaatan Ruang | |||||
Pasal 35
| |||||
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.
| |||||
Pasal 36
| |||||
(1)
|
Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.
| ||||
(2)
|
Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang.
| ||||
(3)
|
Peraturan zonasi ditetapkan dengan :
| ||||
a.
|
peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional;
| ||||
b.
|
peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi; dan
| ||||
c.
|
peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi.
| ||||
Pasal 37
| |||||
(1)
|
Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
| ||||
(2)
|
Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
| ||||
(3)
|
Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.
| ||||
(4)
|
Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
| ||||
(5)
|
Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin.
| ||||
(6)
|
Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak.
| ||||
(7)
|
Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
| ||||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan peraturan pemerintah.
| ||||
Pasal 38
| |||||
(1)
|
Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dapat diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
| ||||
(2)
|
Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, berupa :
| ||||
a.
|
keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham;
| ||||
b.
|
pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
| ||||
c.
|
kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
| ||||
d.
|
pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah.
| ||||
(3)
|
Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, yang merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang berupa :
| ||||
a.
|
pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan/atau
| ||||
b.
|
pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.
| ||||
(4)
|
Insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak masyarakat.
| ||||
(5)
|
Insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh :
| ||||
a.
|
Pemerintah kepada pemerintah daerah;
| ||||
b.
|
pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya; dan
| ||||
c.
|
pemerintah kepada masyarakat.
| ||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif diatur dengan peraturan pemerintah.
| ||||
Pasal 39
| |||||
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 merupakan tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi.
| |||||
Pasal 40
| |||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pemanfaatan ruang diatur dengan peraturan pemerintah.
| |||||
Bagian Keempat
Penataan Ruang Kawasan Perkotaan | |||||
Paragraf 1
Umum | |||||
Pasal 41
| |||||
(1)
|
Penataan ruang kawasan perkotaan diselenggarakan pada :
| ||||
a.
|
kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten; atau
| ||||
b.
|
kawasan yang secara fungsional berciri perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah provinsi.
| ||||
(2)
|
Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b menurut besarannya dapat berbentuk kawasan perkotaan kecil, kawasan perkotaan sedang, kawasan perkotaan besar, kawasan metropolitan, atau kawasan megapolitan.
| ||||
(3)
|
Kriteria mengenai kawasan perkotaan menurut besarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
| ||||
Paragraf 2
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perkotaan | |||||
Pasal 42
| |||||
(1)
|
Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten adalah rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten.
| ||||
(2)
|
Dalam perencanaan tata ruang kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan Pasal 29, dan Pasal 30.
| ||||
Pasal 43
| |||||
(1)
|
Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah provinsi merupakan alat koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas wilayah.
| ||||
(2)
|
Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi arahan struktur ruang dan pola ruang yang bersifat lintas wilayah administratif.
| ||||
Pasal 44
| |||||
(1)
|
Rencana tata ruang kawasan metropolitan merupakan alat koordinasi pelaksanaan pembangunan lintas wilayah.
| ||||
(2)
|
Rencana tata ruang kawasan metropolitan dan/atau kawasan megapolitan berisi :
| ||||
a.
|
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang kawasan metropolitan dan/atau megapolitan;
| ||||
b.
|
rencana struktur ruang kawasan metropolitan yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana kawasan metropolitan dan/atau megapolitan;
| ||||
c.
|
rencana pola ruang kawasan metropolitan dan/atau megapolitan yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya;
| ||||
d.
|
arahan pemanfaatan ruang kawasan metropolitan dan/atau megapolitan yang berisi indikasi program utama yang bersifat interdependen antarwilayah administratif; dan
| ||||
e.
|
ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan metropolitan dan/atau megapolitan yang berisi arahan peraturan zonasi kawasan metropolitan dan/atau megapolitan, arahan ketentuan perizinan, arahan ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
| ||||
Paragraf 3
pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan | |||||
Pasal 45
| |||||
(1)
|
Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan bagian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
| ||||
(2)
|
Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah provinsi dilaksanakan melalui penyusunan program pembangunan beserta pembiayaannya secara terkoordinasi antarwilayah kabupaten/kota terkait.
| ||||
Paragraf 4
Pengendalian pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan | |||||
Pasal 46
| |||||
(1)
|
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan bagian pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
| ||||
(2)
|
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah provinsi dilaksanakan oleh setiap kabupaten/kota.
| ||||
(3)
|
Untuk kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota yang mempunyai lembaga pengelolaan tersendiri, pengendaliannya dapat dilaksanakan oleh lembaga dimaksud.
| ||||
Paragraf 5
Kerja Sama Penataan Ruang Kawasan Perkotaan | |||||
Pasal 47
| |||||
(1)
|
Penataan ruang kawasan perkotaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota dilaksanakan kerja sama antardaerah.
| ||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan perkotaan diatur dengan peraturan pemerintah.
| ||||
Bagian Kelima
Penataan Ruang Kawasan Perdesaan | |||||
Paragraf 1
Umum | |||||
Pasal 48
| |||||
(1)
|
Penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan untuk :
| ||||
a.
|
pemberdayaan masyarakat perdesaan;
| ||||
b.
|
pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya;
| ||||
c.
|
konservasi sumber daya alam;
| ||||
d.
|
pelestarian warisan budaya lokal;
| ||||
e.
|
pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan; dan
| ||||
f.
|
penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan.
| ||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Undang-Undang.
| ||||
(3)
|
Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada :
| ||||
a.
|
kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten; atau
| ||||
b.
|
kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten pada satu atau lebih wilayah provinsi.
| ||||
(4)
|
Kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk kawasan agropolitan.
| ||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan agropolitan diatur dengan peraturan pemerintah.
| ||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan perdesaan diatur dengan peraturan pemerintah.
| ||||
Paragraf 2
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perdesaan | |||||
Pasal 49
| |||||
Rencana tata ruang kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten adalah bagian rencana tata ruang wilayah kabupaten.
| |||||
Pasal 50
| |||||
(1)
|
Penataan ruang kawasan perdesaan dalam 1 (satu) wilayah kabupaten dapat dilakukan pada tingkat wilayah kecamatan atau beberapa wilayah desa atau nama lain yang disamakan dengan desa yang merupakan bentuk detail dari penataan ruang wilayah kabupaten.
| ||||
(2)
|
Rencana tata ruang kawasan perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten merupakan alat koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas wilayah.
| ||||
(3)
|
Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi struktur ruang dan pola ruang yang bersifat lintas wilayah administratif.
| ||||
Pasal 51
| |||||
(1)
|
Rencana tata ruang kawasan agropolitan merupakan rencana rinci tata ruang 1 (satu) atau beberapa wilayah kabupaten.
| ||||
(2)
|
Rencana tata ruang kawasan agropolitan memuat :
| ||||
a.
|
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang kawasan agropolitan;
| ||||
b.
|
rencana struktur ruang kawasan agropolitan yang meliputi sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan prasarana kawasan agropolitan;
| ||||
c.
|
rencana pola ruang kawasan agropolitan yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya;
| ||||
d.
|
arahan pemanfaatan ruang kawasan agropolitan yang berisi indikasi program utama yang bersifat interdependen antardesa; dan
| ||||
e.
|
ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan agropolitan yang berisi arahan peraturan zonasi kawasan agropolitan, arahan ketentuan perizinan, arahan ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
| ||||
Paragraf 3
Pemanfaatan Ruang Kawasan Perdesaan | |||||
Pasal 52
| |||||
(1)
|
Pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan bagian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
| ||||
(2)
|
Pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang merupakan bagian dari 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten dilaksanakan melalui penyusunan program pembangunan beserta pembiayaannya secara terkoordinasi antarwilayah kabupaten terkait.
| ||||
Paragraf 4
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perdesaan | |||||
Pasal 53
| |||||
(1)
|
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten merupakan bagian pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten.
| ||||
(2)
|
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten dilaksanakan oleh setiap kabupaten.
| ||||
(3)
|
Untuk kawasan perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten yang mempunyai lembaga kerja sama antarwilayah kabupaten, pengendaliannya dapat dilaksanakan oleh lembaga dimaksud.
| ||||
Paragraf 5
Kerja Sama Penataan Ruang Kawasan Perdesaan | |||||
Pasal 54
| |||||
(1)
|
Penataan ruang kawasan perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten dilaksanakan melalui kerja sama antardaerah.
| ||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kawasan agropolitan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten diatur dengan peraturan daerah kabupaten, untuk kawasan agropolitan yang berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten diatur dengan peraturan daerah provinsi, dan untuk kawasan agropolitan yang berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah provinsi diatur dengan peraturan pemerintah.
| ||||
(3)
|
Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan secara terintegrasi dengan kawasan perkotaan sebagai satu kesatuan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
| ||||
(4)
|
Penataan ruang kawasan agropolitan diselenggarakan dalam keterpaduan sistem perkotaan wilayah dan nasional.
| ||||
(5)
|
Keterpaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mencakup keterpaduan sistem permukiman, prasarana, sistem ruang terbuka, baik ruang terbuka hijau maupun ruang terbuka nonhijau.
| ||||
BAB VII
PENGAWASAN PENATAAN RUANG | |||||
Pasal 55
| |||||
(1)
|
Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang.
| ||||
(2)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
| ||||
(3)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
| ||||
(4)
|
Pengawasan Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat.
| ||||
(5)
|
Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan dengan menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah.
| ||||
Pasal 56
| |||||
(1)
|
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian antara penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
| ||||
(2)
|
Apabila hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti terjadi penyimpangan administratif dalam penyelenggaraan penataan ruang, Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan kewenangannya.
| ||||
(3)
|
Dalam hal Bupati/Walikota tidak melaksanakan langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur mengambil langkah penyelesaian yang tidak dilaksanakan Bupati/Walikota.
| ||||
(4)
|
Dalam hal Gubernur tidak melaksanakan langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Menteri mengambil langkah penyelesaian yang tidak dilaksanakan Gubernur.
| ||||
Pasal 57
| |||||
Dalam hal penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2), pihak yang melakukan penyimpangan dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
| |||||
Pasal 58
| |||||
(1)
|
Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan pula pengawasan terhadap kinerja fungsi dan manfaat penyelenggaraan penataan ruang dan kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
| ||||
(2)
|
Dalam rangka peningkatan kinerja fungsi dan manfaat penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional disusun standar pelayanan penyelenggaraan penataan ruang untuk tingkat nasional.
| ||||
(3)
|
Standar pelayanan minimal bidang penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek pelayanan dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
| ||||
(4)
|
Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup standar pelayanan minimal bidang penataan ruang provinsi dan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang kabupaten/kota.
| ||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal bidang penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan peraturan Menteri.
| ||||
Pasal 59
| |||||
(1)
|
Pengawasan terhadap penataan ruang pada setiap tingkat wilayah dilakukan dengan menggunakan pedoman bidang penataan ruang.
| ||||
(2)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan pada pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang.
| ||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan terhadap pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang diatur dengan peraturan Menteri.
| ||||
BAB VIII
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT | |||||
Pasal 60
| |||||
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk :
| |||||
a.
|
mengetahui rencana tata ruang;
| ||||
b.
|
menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
| ||||
c.
|
memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
| ||||
d.
|
mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
| ||||
e.
|
mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
| ||||
f.
|
mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
| ||||
Pasal 61
| |||||
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib :
| |||||
a.
|
menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
| ||||
b.
|
memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
| ||||
c.
|
mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
| ||||
d.
|
memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
| ||||
Pasal 62
| |||||
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai sanksi administratif.
| |||||
Pasal 63
| |||||
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dapat berupa:
| |||||
a.
|
peringatan tertulis;
| ||||
b.
|
penghentian sementara kegiatan;
| ||||
c.
|
penghentian sementara pelayanan umum;
| ||||
d.
|
penutupan lokasi;
| ||||
e.
|
pencabutan izin;
| ||||
f.
|
pembatalan izin;
| ||||
g.
|
pembongkaran bangunan;
| ||||
h.
|
pemulihan fungsi ruang; dan/atau
| ||||
i.
|
denda administratif.
| ||||
Pasal 64
| |||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Pasal 63 diatur dengan peraturan pemerintah.
| |||||
Pasal 65
| |||||
(1)
|
Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.
| ||||
(2)
|
Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui :
| ||||
a.
|
partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
| ||||
b.
|
partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
| ||||
c.
|
partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
| ||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
| ||||
Pasal 66
| |||||
(1)
|
Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan.
| ||||
(2)
|
Dalam hal masyarakat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tergugat dapat membuktikan bahwa tidak terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang.
| ||||
BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA | |||||
Pasal 67
| |||||
(1)
|
Penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
| ||||
(2)
|
Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
| ||||
BAB X
PENYIDIKAN | |||||
Pasal 68
| |||||
(1)
|
Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
| ||||
(2)
|
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
| ||||
a.
|
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
| ||||
b.
|
melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
| ||||
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
| ||||
d.
|
melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang berkenaan dengan tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
| ||||
e.
|
melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dalam bidang penataan ruang; dan
| ||||
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dalam bidang penataan ruang.
| ||||
(3)
|
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia.
| ||||
(4)
|
Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
| ||||
(5)
|
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia.
| ||||
(6)
|
Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara serta proses penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
| ||||
BAB XI
KETENTUAN PIDANA | |||||
Pasal 69
| |||||
(1)
|
Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
| ||||
(2)
|
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
| ||||
(3)
|
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
| ||||
Pasal 70
| |||||
(1)
|
Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
| ||||
(2)
|
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
| ||||
(3)
|
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
| ||||
(4)
|
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima betas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
| ||||
Pasal 71
| |||||
Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
| |||||
Pasal 72
| |||||
Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
| |||||
Pasal 73
| |||||
(1)
|
Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
| ||||
(2)
|
Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.
| ||||
Pasal 74
| |||||
(1)
|
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72.
| ||||
(2)
|
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :
| ||||
a.
|
pencabutan izin usaha; dan/atau
| ||||
b.
|
pencabutan status badan hukum.
| ||||
Pasal 75
| |||||
(1)
|
Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72, dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak pidana.
| ||||
(2)
|
Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana.
| ||||
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN | |||||
Pasal 76
| |||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
| |||||
Pasal 77
| |||||
(1)
|
Pada saat rencana tata ruang ditetapkan, semua pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus disesuaikan dengan rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang.
| ||||
(2)
|
Pemanfaatan ruang yang sah menurut rencana tata ruang sebelumnya diberi masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian.
| ||||
(3)
|
Untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan sebelum penetapan rencana tata ruang dan dapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar, kepada pemegang izin diberikan penggantian yang layak.
| ||||
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP | |||||
Pasal 78
| |||||
(1)
|
Peraturan pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
| ||||
(2)
|
Peraturan presiden yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
| ||||
(3)
|
Peraturan Menteri yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
| ||||
(4)
|
Dengan berlakunya Undang-Undang ini :
| ||||
a.
|
Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional disesuaikan paling lambat dalam waktu 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan;
| ||||
b.
|
semua peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi disusun atau disesuaikan paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan; dan
| ||||
c.
|
semua peraturan daerah kabupaten/kota tentang rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.
| ||||
Pasal 79
| |||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
| |||||
Pasal 80
| |||||
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
| |||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembara Negara Republik Indonesia.
|
Komentar
Posting Komentar